Rabu, 12 Maret 2014

          Metodologi Studi Islam; Teori Dasar Pendekatan     dalam Pengkajian Islam

 

METODOLOGI STUDI ISLAM;
Teori Dasar Pendekatan Dalam Pengkajian Islam
By : FAWAJURRAHMAN


Gerakan pembaharuan dalam pemikiran Islam pada abad 21 ini ditandai dengan perubahan paradigma keagamaan yang cukup signifikan. Interpretasi liberal terhadap teks-teks suci keagamaan dan peninjauan kembali terhadap doktrin-doktrin salaf (tradisional) khalaf (pertengahan) dan muta’akhir (modern) merupakan realitas yang dapat kita temukan dalam karya-karya pemikiran Islam kontemporer. Hal tersebut menggambarkan prinsip-prinsip Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Asumsi yang menjadi landasan gagasan liberalisme tersebut adalah bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala situasi, menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik al-Qur’an dan sunnah nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks, gagasan tentang kebenaran agama sebagai sesuatu yang relatif, berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan terpinggirkan.
Dalam diskurus keagamaan kontemporer dijelaskan, bahwa ‘’agama’’ ternyata mempunyai banyak wajah [multifaces] dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya. Yakni hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya. Tetapi agama juga terkait dengan persoalan-persoalan historis-kultural yang merupakan keniscayaan manusiawi belaka.[1]

Berkaitan dengan diskursus keagamaan tersebut, Charles J.Adams menawarkan beberapa pemikiran yang pada dasarnya menyangkut tiga hal sebagai wilayah terapan dari suatu metode ataupun pendekatan. Pertama, masalah definisi ‘’Islam’’ dan ‘’agama’’. Kedua, pendekatan yang relaven dalam proses pengkajian Islam. Ketiga, bidang kajian dalam penelitian dan pengkajian Islam. Dari situlah diharapkan dapat ditemukan pemahaman yang komprehensip mengenai bagaimana semestinya pengkajian agama Islam dijalankan.
Pengertian metodologi studi islam dan ruang lingkupnya
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima(well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.
Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian atas metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.

Ruang lingkup Studi Islam:
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi:

  1. Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.
  2. Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
  3. Sebagai interaksi social, yaitu realitas umat Islam.

Bila islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak memerlukan penelitian didalamnya.

Tujuan Studi Islam:
  1. Mengungkap faktor emosional dalam kerangka rasional, actual, dan kultural berupa kecintaan pada agama Islam.
  2. Membuktikan Islam sebagai rahmatan lil alamin dan memberikan kebaikan bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
  3. Menghilangkan paradigm negative sebagian masyarakat dunia terhadap agama Islam. Tanggapan negative terhadap Islam sering kali menyudutkan komunitas Muslim di berbagai dunia.

Definisi Islam dan Agama
Perdebatan mengenai difinisi agama sampai sekarang tidak ada habis-habisnya. Charles di awal tulisannya memaparkan tentang kesulitan dalam memberikan difinisinya yang konkrit dan bisa diterima oleh semua pihak.[2] Difinisi kedua istilah tersebut sangat beragam. Bagi umat Islam sendiri misalnya, memahami Islam sebagai agama yang tidak saja mengatur hubungan manusia dengan yang transenden. Lebih dari itu, Islam dipahami sebagai pandangan hidup dan orientassi didunia, bahkan temasuk di dalam peradaban.
Dalam al-Qur’an sendiri, kata kunci yang berkaitan erat dengan agama dapat diambil dari beberapa kata seperti al-Din, al-millah atau al-syari’ah dan minhaj. Kata al-Din dengan berbagai derivasinya, dalam al-Qur’an terdapat 91 tempat, sehingga pengertian agama menjadi sangat luas dan plural.[3]
Seorang ahli jiwa agama, W.H.Clark, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan, bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat difinisi agama, karena pengalaman agama adalah subyektif, intern dan individual.[4]
Sebenarnya kesulitan itu muncul karena Islam dianggap bukan hanya mengandung suatu sistem kepercayaan dan praksis saja, tetapi meliputi berbagai macam sistem yang mengandung situasi kesejarahan [historical situation].[5] Sehingga menurut Charles, Islam harus dipahami dan dilihat melalui perspektif sejarah, sebagai suatu respon yang selalu berubah dan berkembang, karena adanya pergantian generasi muslim ketika memandang realitas dan makna kehidupan umat manusia. Dalam konteks ini, Islam tentu akan terus berkembang dan beragam sesuai dengan konteks historisnya.[6]
Sebagai justifikasi pernyataan diatas, Charles menampilkan event historis yang terjadi di pakistan sebagai ilustrasi, pergumulan pemikiran, prosestransformasi sosial-politik, serta perjalanan sejarah yang dilalui, yang melibatkan berbagai macam disiplin keilmuan akan memberikan pemahamanyang beragam.[7] Oleh karena itu, jika pendefinisian masih dianggap perlu, maka Islam-masih menurutnya-harus dipandang dari perspektif historis. Islam dipandang sebagai proses yang terus-menerus dari pengalaman dan ekspresi yang didasarkan pada kontinuitas sejarah dengan pesan dan pengaruh Nabi Muhammad Saw.[8] Senada dengan itu, Dr.H.M.Amin Abdullah berpendapat, bahwa lewat kajian dan pendekatan agama yang bersifat kritis-historis, yakni lewat analisa yang tajam terhadap aspek historisitas daripada normativitas ajaran wahyu akan membantu menjernihkan duduk perkara keberagamaan manusia.[9]
Kesulitan lain yang muncul, menurut Charles adalah terjadi ketika mendefinisikan agama. Berbagai literatur yang ada menunjukkan berbagai variasi yang sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Ini mengindikasikan bahwa dalam memberikan pengertian tentang agama lebih bertolak dari disiplin ilmu yang mereka tekuni, sehingga pengertian itu terjadi variasi. Dalam sejarah pengkajian agama-agama, menurut Charles, paling tidak ditemukan fakta; [a] peneliti agama lebih tertarik mengkaji agama-agama primitif daripada agama-agama besar,[b] sarjana Barat relatif mengabaikan penelitian terhadap Islam sebagai satu agama besar,[c] ada fakta lain yang menunjukkan pengalaman sarjana Barat terhadap Islam tidak lebih baik ketimbang pemahaman mereka terhadap kasus di India Timur jauh, dan [d] peneliti agama lebih menfokuskan pada persoalan yang bersifat historis dan fisiologis.[10]
Dengan mengutip WC.Smith, Charles melihat agama sebagai kesatuan yang terdiri dari dua aspek, eksternal dan internal. Aspek eksternal agama berkaitan dengan fenomena sosial yang bisa diamati dan aspek historisnya dalam sebuah komunitas sosial. Sedangkan aspek internalnya adalah orientasi yang bersifat transenden dan dimensi kehidupan beragama secara pribadi. Kesimpulan seperti ini didasarkan pada asumsi bahwa harus ada pemisahan antara tradisi dan keyakinan.[11] Semenjak ekspresi keagamaan orang diambil dan memberi fokus pada orientasi keagamaan layaknya tak ada ekspresi kebudayaan hidup lain, agama menjadi sama dengan kebudayaan dalam perspektif antropologis.

Pendekatan Dalam Studi Islam
Bagi Charles, paling tidak ada dua macam penulis agama. Pertama, peneliti yang dilandasi komitmen terhadap agamanya. Kedua, peneliti yang hanya bertujuan untuk memuaskan rasa ingin tahunya.[12] Dari dua pemetaan tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa pendekatan secara sepesifik sebagaimana tersebut di bawah ini:

Pendekatan Normatif [keagamaan]
Dalam model pendekatan ini, pengkajian agama lebih didominasi oleh motivasi dan kepentingan suatu agama tertentu. Prinsip dasar pendekatan      ini adalah melihat Islam atau agama-agama lain berdasarkan teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing agama yang bercorak literal,            tekstual dan absolut. Pendekatan ini, menurut Charles, dibagi menjadi tiga macam.[13]
a. Pendekatan Misi
Tujuan pendekatan ini tidak diorientasikan sebagai suatu kajian yang                       bersifat akedemis, tetapi lebih didorong oleh adanya kepentingan penyebaran agama tertentu dan kolonialisme. Tujuan utamanya adalah berusaha memasukkan orang Islam ke dalam agama Kristen. Pendekatan ini lahir pada 19 bersamaan dengan lahirnya missionaris Kristen di wilayah kolonial secara massif.[14]
b. Pendekatan Apologetik
Pendekatan Apologetik lahir sebagai respon mentalitas umat Islam terhadap perkembangan yang terjadi pada era modern, dengan didorong oleh kesadaran akan kebobrokan didalam masyarakat muslim saat itu serta keinginan untuk keluar dari tekanan peradapan Barat yang kian kelat. Kaum apologetik modern ini berusaha mengembangkan tema-tema yang berkaitan dengan desakan akan pentingnya rasionalisme, penyesuaian antara Islam dan ilmu pengetahuan dan semangat progresif, Islam dan etika liberal serta Islam dan sejarah umat manusia.[15]
Kelemahan dari model pendekatan ini terletak pada eksplorasi mengenai Islam yang hanya menyajikan hal-hal yang bersifat’’romantis’’ dan menyenangkan dengan merujuk pada sejarah umat Islam masa lampau. Disamping itu, pendekatan model ini cenderung mengidap penyakit kurang akedemis, defensif dan polemik, karena seringkali mengorbankan nilai-nilai ilmiah dalam penelitian ilmiah atau tradisi akedemis. [16]
c. Pendekatan Simpati
Gerakan ini dimotori oleh Bishop Kenneth Cragg. Ia meneliti Islam bukan dalam rangka gerakan pemurtadan, tetapi lebih merupakan   tanggungjawab moral, dalam rangka menciptakan jembatan dan relasi yang lebih dialogis antar umat beragama yang berbeda, baik Islam-Kristen khususnya, dan Barat-Timur umumnya.
Metode Cragg ini dimulai dengan menunjukkan batas-batas muslim-Kristen, tetapi pada akhirnya ia tetap terjebak pada upaya untuk menyebarkan ajaran Kristen. Oleh karena itu, meskipun Cragg bersifat simpatik dan mempunyai apresiasi yang baik, tujuan normatif  keagamaan masih tetap kental mewarnai karya-karyanya. Tokoh lainnya adalah W.C.Smith yang dalam tulisannya ia menganjurkan untuk mencoba memahami sistem keyakinan orang lain dan bukan mengganti sistem keyakinan tersebut. Ia lebih menekankan pada kepentingan-kepentingan  teologis dan  bukan motivasi penyebaran Injil.[17]

Pendekatan Filologi dan Historis
Pendekatan filologi dalam pengkajian Islam sudah dikenal cukup lama. Pendekatan ini sangat populer bagi para pengkaji agama terutama ketika mengkaji naskah-naskah kuno peninggalan masa lalu. Karena obyek dari pendekatan filologi ini adalah warisan-warisan keagamaan, berupa naskah-naskah klasik dalam bentuk manuskrip. Naskah-naskah klasik itu meliputi berbagai disiplin ilmu; sejarah, teologi, hukum, mistisme dan lain-lainnya yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan belum dimanfaatkan        di negara-negara muslim. Alat untuk mengetahui warisan-warisan intelektual Islam itu adalah bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki dan     Urdu.[18]
Studi filologi merupakan kunci pembuka khazanah budaya lama yang terkandung dalam naskah-naskah. Karena itu, menurut Charles, studi     filologi haruslah diteruskan dalam studi, karena banyak naskah yang meliputi sejarah, teologi hukum, mistik dan lain-lainnya, belum diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan belum dikaji oleh negara-negara Islam.[19]
Pendekatan filologi ini memang akan mampu mengungkap corak pemikira serta isi dari suatu naskah atau suatu kandungan teks untuk kemudian          ditransformasikan ke dalam bahasa konteks kekinian. Karena penekanan       dalam studi filologi terletak pada analisa bahasa dengan seluruh strukturnya.[20] Tetapi persoalannya menjadi lain manakah studi filologi ini diterapkan pada pengkajian kitab suci. Dalam hal ini, Charles memberikan             ilustrasi dengan mengemukakan kajian komperasi semitik terhadap kitab suci al-Qur’an. Asumsi awalnya, bahwa al-Qur’an itu diturunkan dengan         menggunakan bahasa yang serumpun dengan bahasa Semit, termasuk didalamnya kitab suci agama Yahudi, karena al-Qur’an dengan bahasa Arab yang sama serumpun dengan bahasa Semit, maka ketika ada bahasa yang sama dengan pola struktur bahasa sebelumnya akan dianggap sebagai pinjaman dari bahasa itu. Implikasi lebih jauh akan berkaitan dengan tradisi yang berlaku pada suatu masyarakat. Karena itu tidak mengherankan apabila ada asumsi bahwa sebagian bahasa al-Qur’an merupakan pinjaman dari bahasa lain yang mencerminkan tradisi dari bahasa sebelumnya. Inilah-yang menurut Charles-menjadi masalah signifikan dalam kajian yang bersifat filologi. [21]
Disamping pendekatan filologi, bagi Charles pendekatan historis juga sangat membantu dalam pengkajian Islam, terutama dalam konteks untuk mengetahui perubahan dan perkembangan. Pendekatan historis ini tidak hanya menjelaskan bagaimana suatu peristiwa terjadi, tetapi lebih dalam mencoba menguraikan hukum kausalitas dari suatu peristiwa kesejarahan. Oleh karena itu, biasanya dalam pendekatan ini, asumsi untuk membangun hipotetis adalah suatu pertanyaan mengapa dan bagaimana. Dalam hal ini-menurut Charles-esensinya adalah menggabungkan pendekatan filologi yang penekanannya pada bahasa dengan pendekatan historis yang sangat berguna untuk memahami kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu.[22]
Melalui pendekatan historis seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empirik dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang            akan melihat    adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat           dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.

Pendekatan Ilmu Sosial
Konstruksi pendekatan sosiologi ini didasarkan pada satu teori bahwa penjelasan apapun dan seperangkat informasi faktual tertentu, atau hubungan informasi dan perkembangannya yang bersifat spesefik harus dikelompokkan pada suatu kerangka kerja yang lebih komprehensif dari     tingkah laku manusia. Fakta dan asumsi tentang kehidupan harus dapat diamati sebagai satu realitas obyektif untuk mendapatkan suatu formula yang bersifat universal. Itulah sebabnya pendekatan ini lebih menekankan pada aspek yang bersifat empirik. [23]
Biasanya sosiolog dalam meneliti agama menekankan pada aspek yang       bersifat empirik. Karena itu, oleh Charles pendekatan ini dinilai mengidap        kelemahan yang membuka terjadinya reduksi terhadap agama, karena             penelitian tidak sampai pada bagian yang terdalam dari suatu agama. Bukti            dari reduksi adalah ketika mereka menyimpulkan tentang hakikat agama.          Ada teori yang menyatakan agama sebagai perwujudan dari nilai-nilai         sosial. menyatakan hakikat agama sebagai alat yang berhubungan dengan              yang    tidak diketahui dan tidak dikontrol. Semua itu sama sekali tidak   kesimpulan yang menyatakan bahwa motifasi beragama muncul karena             adanya dorongan dari kekuatan sosial, psikologi dan ekonomi.[24]
Pendekatan Fenomenologi
Menurut Charles, pendekatan fenomnologi mempunyai karakterstik
tersendiri. Pertama, sebagai usaha memahami agama lain dengan berusaha untuk masuk pada suatu komunitas agama dengan melepaskan atribut  yang dimilikinya. Memahami berarti merekonstruksi pengalaman orang lain ; mengikuti dan menghadapkan kembali pengalaman orang lain dalam imajinasi atas. Kategori dari pemahaman dan pengelohan pengalaman          agama adalah orang-orang beragama yang mengokohkan dirinya melalui kerja tradisi sejarahnya sendiri dan pengalaman pribadi. Kelebihannya adalah bisa mendalami hakikat suatu agama secara lebih mendalam, tetapi dengan melepaskan atribut agamanya sendiri akan berakibat negatif pada kondisi pengkaji yang pada gilirannya-bukan tidak mungkin-melahirkan sinkretisme. Kedua, pendekatan fenomenologi dipandang sebagai suatu pendekatan yang mencoba mengelompokkan struktur dasar dari fenomena-fenomena agama dengan melintasi batas-batas komunitas agama dan       bahasa. Bahkan  epoche mengumpulkan bahan sebanyak mungkin dapat dilakukan. Epoche itu sendiri merupakan penangguhan putusan sebagai suatu tahap dalam reduksi fenomenologi. Kelebihan dalam konteks ini   adalah pada usahanya untuk mencari stuktur dasar yang sama, sehingga kesimpulan yang dihasilkan bisa lebih bersifat universal. Kelemahannya terletak pada munculnya asumsi bahwa semua agama itu sama, dan semua agama itu ‘’ benar’’, karena basic stukture agama yang      sama.[25] Jadi yang menjadi pusat perhatian pendekatan fenomenologi sebenarnya hanya pencarian esensi, makna dan struktur fundamental dari pengalaman keberagamaan manusia. Di dalam pengalaman keberagamaan manusia ada esensi irreducible dan itulah struktur fundamental manusia beragama. Umumnya para fenomenolog menuntut penyisihan sikap menilai oleh     peneliti terhadap obyek yang ditelitinya. Sifatnya yang khas inilah merupakan pemberontakan terhadap merusaknya metode-metode penelitian yang dihasilkan sains-sains teoritis, khususnya sosiologi dan historisisme. Fenomenologi menuntut partisipasi empati, kalau bukan malah simpati sang peneliti terhadap obyek penelitiannya.[26]

Cakupan Studi Islam
Menurut Charles J.Adams, cakupan yang relavan dalam studi Islam dapat di kelompokkan dalam sebelas bagian;[1] Arab Pra-Islam;[2] Kajian tentang Nabi;[3] Kajian al-Qur’an;[4] Kajian tentang Hadits;[5] Kajian Tentang Kalam;[6] Kajian hukum Islam;[7] Filsafat;[8] Tassawuf;[9] Madzhab-madzhab dalam Islam, khususnya Syi’ah; [10] Kajian tentang kehidupan beribadah; [11] Kajian agama populer.
Bidang kajian Islam tersebut-menurut Charles-merupakan kajian terapan terhadap pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan diatas. Pendekatan historis digunakan dalam kajian al-Qur’an, kajian hadits dan kalam serta kajian tentang sufisme. Sedangkan pendekatan fenomenologi digunakan dalam kajian tentang Nabi Muhammad Saw. Dan pendekatan ilmu-ilmu sosial digunakan dalam kajian tentang Arab pra Islam. Namun tidak menutup kemungkinan bila satu bidang dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan.
Studi Tentang Arab Pra-Islam
Kajian ini-menurut Charles-penting dilakukan untuk melihat kontinuitas pengalaman Islam dengan tradisi agama-agama besar Timur Dekat yang sering menunjukkan adanya hubungan dekat antara keduanya yang sering dilupakan dan diabaikan. Pengetahuan keIslaman, pengalaman dan tradisi Muhammad serta penerusnya harus ditiliti secara menyeluruh dengan melacak evolusi agama dari orang-orang Semit dan warisannya yang terkait agama orang lain yang hidup di Timur Tengah. Islam adalah puncak dan menjadi trend kehidupan beragama Timur Dekat yang menunjukkan kontinuitas tersebut. Faktanya, bahwa tradisi Islam sendiri menerima teologi sebagai pondasi historis. Menunjukkan kontinuitas kehidupan beragam dan mengembangkan hubungan antara ide-ide serta praktek-pratek Islam dan mereka yang mendahuluinya disemenanjung Arab merupakan unsur utama dalam kajian ini. Penampilan studi macam ini menciptakan transisi dari karya arkeologis tentang pra-Islam dalam pemahaman sistematik mendalam tentang karakter kehidupan beragama dan keadaan yang ada serta meneruskan pengaruh dalam kesalehan masyarakat.[27]
Dalam sebuah artikel yang brilian, Marshal G.S.Hudgson-seperti dikutip Charles-melihatnya adanya fakta, bahwa kehidupan agama di Timur Dekat kuno tidak dilihat secara normal sebagai perkembangan yang kontinu, tetapi diteliti dan ditemukan sebagai serangkaian kelainan dan merupakan komunitas eksklusif agama. Yang satu menguasai yang lain. Lebih jauh, Charles melihat kecencerungan  ini terkait erat dengan ketegangan teologis yang berasal dari dua tradisi Bibel.
Studi interpretatif  penting tentang Arab Pra-Isalam dilakukan oleh para sarjana seperti Goldziher, Wellhausan, Margoliuth, Noldeke, Lammens, Lyall dan Nicholson. Mereka mengambil bahan-bahannya dari sumber sastra; dari puisi jahili, literatur sejarah [sirah] penelitian sejarawan Arab, atau dari beberapa kumpulan seperti Kitab al-ghani dan bahkan dari al-Qur’an. Pemahaman tentang unsur-unsur moral Arab dimana pengajaran Qur’an menjadi relaven sebagai pengayaan pemahaman juga telah dilakukan oleh Toshihiko Izutsu; studi montgomery Watt tentang latar belakang ekonomi dan sosial kelhiran Islam dan berfungsinya hubungan suku; R.B.Serjeant dengan studi antropologisnya tentang lembaga keagamaan Arab sebelum Islam; kajian kritis tentang otentisitas puisi jahili dilakukan oleh Taha Husain; informasi penting tentang penyebaran tulisan puisi Pra-Islam pada abad pertama juga bisa dilihat dalam Gesichte des Arabischen Schriftunus oleh Fuat Sezgin.
Kajian tentang warisan keagamaan disemenanjung Arab mengalami kemajuan pada tahun terakhir melalui kerja arkeologis. Ini tidak lain karena sikap lunak pemerintahan Arab dalam memberikan izin untuk melakukan studi ini. Di antara para ekspeditur asing di izinkan. Mereka dari Belgia, Denmark, dan Amerika. DI dunia  Barat muncul karya-karya terbaru tentang Arab kuno,di antara tokonya G. Ryckman, J.Pirenne, Franz Althem, Ruth Stiehl, Brian Deo dan Herman Von Wissman Tubingen.
Sementara kemajuan terbesar dalam penelitian tentang aspek-aspek kehidupan Arab sebelum Islam dengan sistem deskriptif telah dicapai oleh sarjana Prancis; Bisher Fares, joseph, Colhod dan Toufic Fahd. Kajian mereka menunjukkan pencarian kejantanaan melayani tujuan dan memaparkan reputasi laki-laki dimata pengikutnya, mengungkap konsep meruwwah sebagai dasar kebajikan kehidupan Arab dan merefleksikan implus sistematis fenomenologi agama dengan mengklasifikasikan tipe-tipe pengorbanan dan yang suci diantara orang Arab.


Studi Tentang Kenabian [Muhammad]
Studi tentang Muhammad urgen untuk dilakukan. Fokus perhatiannya adalah eksplorasi kehidupan keberagamaan seorang muslim. Yakni peran yang dimainkan Muhammad dala kesalehan umat Islam, fungsi keberagamaannya bagi masyarakat dan wilayah turunnya risalah kenabian dalam pemahaman tentang Islam. Posisi Muhammad dalam pemikiran dan ketaatan seorang muslim memiliki kepentingan yang lebih besar daripada sekedar biografi dan perkembangan pribadinya; membongkar aspek-aspek perkembangan relegius-personal Muhammad yang sebelumnya tidak dapat diapresiasi.[28]
Sumber paling awal tentang biografi Muhammad adalah Sirah al-Nabi karya Ibnu Ishaq yang kemudian diterjemahkan oleh A.Guillaume. Studi tentang Muhammad banyak dilakukan pada beberapa tahun setelah perang dunia ke II. Penelitian yang dilakukan oleh Watt menggaris bawahi dimensi sosial-ekonomi dan latar belakang aktifitas kenabian dan menjelaskan kebaikkan hubungannya dengan banyak suku. Temuan Watt ini dapat dinilai sebagai usaha [baca; karya] yang paling penting dari studi Muhammad sejak terbitnya biografi karya Frants Buhl. Demikian juga karya Regis Balachere yang berjudul La Probleme de Muhamet. Hasil temuannya menyiratkan pesimistis, bahwa seorang nabi jauh dari figur historis yang dapat diketahui sebagaimana yang diklaim selama ini.
Agaknya temuan lain yang cukup menjanjikan adalah karya antropologos dari R.B.Serjeant tentang orang Arab di Arabia Selatan, Harris Birkeland tentang studi al-Qur’an. Serjeant percaya bahwa mugkin saja untuk menemukan elemen-elemen dalam kehidupan suku Arab kontemporer guna membantu memahami Arab ketika nabi masih hidup. Ia mengkritik karya Watt yang menyatakan bahwa terdapat bukti-bukti yang tidak memadai yang diambil dari kebiasaan dalam kehidupan suku Arab, mencoba memperbaiki studi antropologis dan etnologi yang selama ini berkembang, bahkan menemukan sejumlah studi tentang institusi agama di Arab Selatan dan membuat perbandingan antara manusia suci di wilayah itu dan posisinya sebagai nabi; ia membuktikan bahwa seringkali Muhammad seringkali bertindaksama dengan posisinya sebagai manusia suci dan melakukan aktifitasnya identik dengan dasar-dasar institusional. Yang tak kalah penting dan ini merupakan kemajuan adalah karya Tor  Andrae dalam bukunya Die Person Muhammads. Sedangkan publikasi Haikal yang berjudul Live of Muhammad merupakan karya mutkhir di abad ke-20 tentang biografi Muhammad yang mengekpresikan kekuatan pemikiran Islam kontemporer.


Studi Tentang al-Qur’an
Sebagaimana studi yang dilakukan oleh para sarjana Barat terhadap beberapa masalah, diantaranya formasi al-Qur’an sebagai teks kronologi yang berisi naskah-naskah, sejah tulisannya, macam-macam bacaan, hubungan al-Qur’an dengan literatur terdahulu dan isu-isu besar lainnya.
Berbagai masalah tersebut kebanyakkan diselesaikan oleh sarjana pada abad ke-19. Diantara karya terpenting adalah Theodor Noldeke yang menulis Geschechte des Korans yang digantikan oleh Bergstassgeer dan Pretzel.
Usaha studi al-Qur’an mengalami kemajuan dan perluasan. Pada saat sekarang misalnya, Richard Bell memperhalus rencana Noldeke dalam menentukan materi-materi kronologi al-Qur’an, tetapi kerangka kerja dasar terhadap kajian kritik al-Qur’an masih terpaku pada abad dahulu. Kemungkinan usaha yang paling signifikan dalam pendekatan kritik al-Qur’an yaitu membawa tingkat-tingkat baru yang sebenarnya pada abad ke-20-mengakibatkan kemalangan proyek bagi kelompok sarjana Jerman dalam kerja sama dengan lainnya untuk membuat kritik teks al-Qur’an. Proyek itu telah menghentikan akhir dari pemboman Munich oleh negara-negara bersekutu pada perang dunia ke-II yang menghancurkan naskah-naskah dan materi-materi yang sudah dikumpulkan. Salah seorang sarjana yang berkepentingan mempublikasikan karangannya yang berjudul Materials for The History of The Text The Qur’an adalah Arthur Jeffrey.
Beberapa fokus kajian al-Qur’an dari peneliti satu ke peneliti yang lain berbeda. Rudi Paret misalnya, mengomentari bahawa semua teks al-Qur’an dikalangan tafsir tradisional muslim menyumbangkan berbagai penjelasan dan komentar dalam term, kegunaan dan referensi yang sulit dan tidak jelas atau sasaran perhatian dan kontroversi sarjana dahulu. Atau Willem Bijlefeld yang memberikan perhatian khusus pada pengajaran-pengajaran al-Qur’an mengenai pokok-pokok religi fundamentalis Islam yang salah dipahami oleh sarjana dahulu.
Corak lain juga ditampakkan oleh Toshihiko Izutsu. Sarjana yang satu ini menitik beratkan kajiannya pada pencarian struktur semantik ; memahami al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana dalam karyanya The Structure of The Ethical Term in The Koran. Melalui analisa semantik, Izutsu mengembangkan makna dikandung Qur’an melalui struktur hubungan antara makna kata kunci atau konsep dalam al-Qur’an itu sendiri. Kajian lain juga dilakukan oleh Goldziher sebaimana dalam bukunya Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung. Berbeda dengan Izutsu, Goldziher menfokuskan penelitiannya pada brbagai tafsir yang berkembang. Kerangka kerja yang dilakukannya adalah bersifat historis.

Studi Tentang Hadits
Pembicaraan utama tentang hadis berkisar dalam hal keontikan hadis nabi dan kejujuran informasi lisan dalam suatu rangkaian penyampaian suatu hadis. Disamping itu kajian ini diharapkan dapat menjawab masalah mengenai arti tradisi kenabian bagi masyarakat.[29]
Perhatian terhadap studi hadis nabi dapat dikatakan diukur dari karya empat orang, yaitu Ignaz Goldziher, Joseph Schact, Nabia Abbot dan Fuat Sezgin. Apabila Ignaz Goldziher mempermasalahkan autentisitas hadis, maka Abbot melihat dengan teliti latar belakang eksternal lahirnya sebuah hadis yang-pada gilirannya-memungkinkan untuk memberikan implikasi tersendiri. Hadis tidak saja berpentingan dalam periode awal, tetapi juga periode setelahnya bahkan berbenturan dengan kepentingan komunitas. Sementara Sezgin melihat adanya berbagai formulasi berimplikasi terhadap eksistensi dan penggunaan dokumen  tertulis dalam proses pentransmisian hadis. Fokus kajian yang dilakukan oleh Joseph Schact mirip dengan apa yang dilakukan oleh Abbot, yaitu terletak pada kelegalitasan hadis. Betapapun demikian keempat tokoh ini tidak berada dalam satu visi karena berangkat dari kepentingan pemilihan problem yang berbeda.
Kajian lain juga dilakukan oleh Mahmud Abu Rayyah. Dalam rangka menjawab pertanyaan tentang signifikansi tradisi kenabian bagi sebuah komunitas, ia mengatakan bahwa kaum kontroversi lebih bersifat hidup dan lebih besar bagi masyarakat yang berusaha merekonstruksi doktrin kekuasaan agama yang secara langsung lebih relaven bagi dunia modern. Issu-issu yang berkembang sangat bersifat historis dan pusat persoalannya adalah pada autentintas hadis. Masalah lain yang juga penting dan memberikan apresiasi tentang makna hadis juga dilakukan oleh William Paul Mc.Lean. Ia menekankan kajiannya-secara tematis-pada sosok Jesus dalam otoritas hadis, selanjutnya ia mengatakan, bahwa karakteristik Jesus yang digambarkan dalam hadis tidak saja berbeda, bahkan sangat radikal, dengan Jesus yang tergambar dalam Qur’an.

Studi Tentang Kalam
Ada dua faktor yang mengkondisikan studi tentang kalam ini. Pertama, pertimbangan normatif bagi ilmuan, yaitu sikap percaya dan posisi dalam masyarakat dalam memberi sumbangan dari pengalaman keberagamaannya kepada spekulasi teologis. Kedua, interrelasi yang dekat dari kerja disiplin dengan disiplin pemikiran Islam yang lain, khususnya pada masa awal. Kajian tentang teologi mempertimbangkan aspek yang dapat dikategorikan sebagai studi filosofis. Teologi merupakan ekspresi intelektual sistematis dari kepercayaan agama.
Di masa awal Islam, teologi dipandang oleh banyak ilmuan sebagai sebuah solusi untuk menghadapi isu-isu politik besar, karena ia telah membangun kesadaran hidup yang lebih baik dari latar belakang politis melawan beragam jenis kepentingan.
Paradigma pokok atau kerangka sejarah pemikiran teologi Islam telah diselesaikan oleh para ilmuan pada abad ke-19 dan masa setelah perang dunia ke-I. Karya masih dianggap mempunyai urgensi fundamental dalam menyediakan orientasi ke wilayah studi adalah Vorlesungen karya Ignaz Goldziher, The Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory karya Duncam Black Mac.Donalddan karya Max Horten.A.J.Websink dalam karyanya yang berjudul The Muslim Creed mengeksplorasi beberapa tema dasar dari pemikiran teologis pada awal Islam secara rinci. MM.Annawati dan Louis Gardet telah mengadopsi metode sistematik ala teologi Skolastik dalam tradisi Islam yang didapati dari Skolastisisme latar belakang Kristen-Katolik. Karya awal yang menjadi sumber utama dalam kajian tentang kalam adalah al-Milal wa al-Nihal karya al-Syihristani, al-Farqu Bain al-Firaq karya al-Baghdadi dan Maqalat al-Islamiah karya al-Asy’ari.
Studi tokoh, pemikiran dan aliran teolog Islam juga dilakukan, misalnya saja Josef van Ess meluangkan waktu untuk melihat berbagai problem dalam konsep qadla dan qadar. Ia juga telah menterjemahkan Kitab al-Mawaqif karya al-Iji dengan memberikan komentar. Richard Frank meneliti sistem Mu’tazilah melalui kajian tokoh Abd Hudzail al-Muallaf, seorang pendiri aliran Mu’tazilah. Demikian halnya kajian yang dilakukan oleh George Makdisi dalam bukunya Ash’ari in Islamic Religious History. Ia menyimpulkan bahwa paham Ash’ari tidak identik dengan pandangan al-Ash’ari.
Dari beberapa kajian tersebut paling tidak ada tiga aspek penting. Pertama, di awal periode kajian itu menampakan usaha untuk merekonstruksi dan mendalami pemahaman dalam setiap periode. Kedua, spekulasi teologi dapat dilihat dari penampakan sejumlah kajian studi tentang figur-figur tertentu dan naskah- naskah peninggalannya. Ketiga, hidupnya kembali perhatian terhadap Mu’tazilh.

Studi Tentang Sufisme
Ada beberapa fokus utama yang menjadi obyek kajian sufisme. Pertama, persoalan sejarah dan perkembangannya. Meskipun persoalan ini amat penting, namun belum memiliki basis yang sistematik dalam kajian-kajian ilmiah. Hal ini dimungkinkan karena masih banyak kajian-kajian awal yang diperlukan sebagai perangkat untuk menuju ke arah sana. Kajian-kajian tersebut dalam bentuk kajian-kajian manuskrip sufism apakah dalam bentuk edit, penerjemahan ataupun analisis dan yang lainnya. Di antara kajian-kajian yang menitik beratkan pada persoalan ini adalah tulisan A.J.Arberry, sufism. Tulisan ini tampaknya dimaksudkan sebagai sejarah gerakan sufi dari fase ke fase. Namun, tulisan ini jauh dari memuaskan, terlalu kecil untuk membicarakan persoalan secara mendalam. Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam. Kajian difokuskan pada ungkapan-ungkapan mistik yang terdapat dalam puisi. Fokus ini mengharuskan Schimmel mengkaji tidak saja para penulis terkenal dalam tradisi Arab dan Persia tetapi juga penyair-penyair yang menggunakan  bahasa-bahasa yang kurang dikenal. Tulisan tersebut bukan kajian literatur semata, tetapi bahkan menawarkan analisis sufi dari seluruh aspeknya secara lebih luas.
Louis Massignon, Essai Sur Les Origine du Lexique Technique de la Mystique Musulmane. Dalam bab IV dan V penulis melacak secara agak mendetail tokoh-tokoh sufi yang mendahului al-Hallaj. Dalam tulisannya Louis memperhatikan bagaimana puncak perkembangan ajaran sufi, yang benihnya telah ada semenjak zaman nabi, ditangan al-Hallaj. Kajian ini sebenarnya kajian tentang sejarah sufism dimasa awal. Dalam Hallaj, karena dialah yang berni mengorbankan jiwanya demi untuk mengeksplisitkan dan menjalankan kehidupan menurut doktrin yang selamanya hanya dijalankan secara implisit oleh para pendahulunya. Oleh karena itu dalam teorinya dalam ada perkembangan yang bergerak mundur setelah itu, dan mencapai titik nadirnya pada’’pantheism’’nya Ibn Arabi dan muridnta Suhrawardi. Karena itulah Massignon tidak memberinkan perhatiannya pada perkembangan pengalaman sufi di era belakangan.
Aspek lain yang penting dikemukan dalam buku Massignon tersebut adalah tekanan yang diberikan Massignon terhadap’’istilah teknis’’[technical Vocabolary] sufi. Istilah yang dipakai kaum sufi terbentuk melalui proser interiorisasi konsep-konsep dasar dan pengalaman  maknanya dalam praktek ritual. Tugas para peneliti adalah mengikuti proses tersebut, sebab dengan proses itu mereka akan sampai pada pemahaman terhadap tema-tema besar sufi. Proses tersebut dilukiskan sebagai satu upaya menghadapkan karya-karya pengarang [sufi] dengan fase sejarah personalnya, sehingga perkembangan pandangannya dan proses’’pendalaman’’ dapat dipahami. Penekanan terhadap istilah teknis ini banyak mempengaruhi para sarjana setelah Massignon, di antaranya Jean Michon dalam L’mi’raj de Mustafa al-Bakri al-Khalwati.
Helmut Ritter, Das Meer der Seele. Kajian ini sama dengan Massignon, memfokuskan pada periode klasik dan formasi pandangan mistik dikalangan kaum muslim. Kajian ini bertujuan memaparkan ajaran-ajaran tentang Tuhan, manusia dan dunia sebagaimana yang dipaparkan oleh Farid ad-Din al-Attar. Untuk itu pengarang melakukan pelacakan terhadap akar-akar pemikiran yang mendahului al-Attar. Tulisan ini merupakan salah satu karya ilmiah terbaik berkaitan dengan sufism. Penjelasan sejarah dan perkembangannya selama masa awal sama pentingnya dengan karya awal Massignon. M.M. Annawati dan Louis Gardet, La Mystique Musulmane. Buku ini jelas bersifat sejarah, namun ada bagian buku ini yang difokuskan pada analisa terhadap struktur dan tema-tema besar pengalaman sufi.
Kedua, ersoalan yang berkaitan dengan topik-topik tertentu, seperti kajian tentang mistik Iran, terutama aliran’’Illuminasionalis’’[Isyraqiy] dan hubungannya dengan  Syi’ah Isna Asyariyah. Dalam hal ini yang patut disebutkan adalah dua tulisannya yang berjudul, Histoire de la philosophie Islamique, yang ditulis dengan bekerja sama dengan Sayyd Husain Nasr, dan En Islam Iranien. Dalam bukunya yang pertama Corbin Menyatakan, bahwa tradisi filsafat di wilayah Islam Timur tetap berkembang meskipun diwilayah Barat tradisi tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, mengalami kemunduran. Menurut Corbin corak filsafat yang berkembang diwilayah Timur adalah mistik. Akar-akarnya dapat dilihat pada karya Suhrawardi dan perkembangannya mencapai puncaknya pada Mulla sadra. Sementara buku yang kedua lebih dititik-beratkan pada kajian mengenai aspek-aspek kehidupan beragama di Iran. Buku initerdiri dari empat jilid. Dalam jilid kedua Corbin membicarakan aliran Isyraqi, yang menjadi interes utamanya. Perhatian utama Corbin lebih ditujukan pada aspek esoteris. Oleh karena itu banyak sarjana yang mengatakan, bahwa penekanan pada aspek tersebut berarti mengabaikan aspek yang lainnya.
            Ketiga, kajian tentang’’ Mystical Brotherhoods’’ [Organisasi Tariqat]. Organisasi ini mulai muncul pada abad XII. Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hal ini, yang mengalami perkembangan pesatnya seiring dengan pentingnya organisasi tersebut, terutama dikawasan Afrika Utara, diantaranya ; O. Depont dan X. Coppolani, Les Confreries Religeuses Mulsumanes. John Kingsley Birge, The Bektashi Order of Dervishes.. E.E.Evans-Pritchard, The Sanusi of Cyrenaica. Bagi Evans perhatian besar yang diberikan kepada Sanusiyyah, pertama-tama bukan sebagai organisasi tarikatnya tetapi karena perannya dalam konflik melawan penjajah Itali. Nicola A. Ziadeh, Sanusiyya. Abun Nasr, The Tijaniya. Sama dengan Evans fokus utama Abun Nasr adalah Tijaniyyah sebagai gerakan jihad yang terjadi di Afrika Barat abad XVII dan XIX. Analisis terhadap tarikat dan perannya dalam masyarakat Islam ditulis oleh H.J. Kissling dalam beberapa tulisan singkatny.
Kajian yang ektensif terhadap organisasi, disamping sejarah dan perkembangannya, dilakukan oleh J. Spencer Trimingham dalam The Sufi Orders in Islam. Trimingham tertarik dengan kajian mistik dari semua aspeknya. Dia berhasil mengorganisasi informasi-informasi yang ada sesuai dengan kriteria sejarah dan sistematikanya. Untuk pertama kalinya kajiannya ini memberikan pengakuan yang selayaknya terhadap persoalan lain. Pentingnya kajian ini terletak pada upaya pengarang dalam membahas semua tarikat yang diketahui pengarang, dan berusaha memahami perjalanan dan watak sejarah mulai awal hingga sekarang. Trimingham juga memberikan perhatiannya kepada tarikat-tarikat sufi yang ada dibenua Afrika. Dia mempublikasikan tulisan mengenai hal tersebut mulai tahun 1949.
Richard Gramlich, Die Schiitishen Derwischorden Persiens, kajian tentang tarikat sufi di Iran. Disini dikemukakan pula geneologi tarikat Iran. Kajian yang lebih mendetail mengenai pemikiran dan kehidupan tarikat tertentu dilakukan oleh M. Mole mengenai tarikat Kubrawiyya, dan P. Nwyia terhadap Syaziliyyah. Ada tiga kajian yang dilakukan oleh Nwyia terhadap tarikat tersebut, yaitu kajian terhadap istilah teknis sufi [disini ia menulis Exegese Coranique et Langage Mystique, kajian atas tafsir Ja’far al-Sadiq], publikasi teks Arab dan mistik Syazili.
Keempat, aspek kajian lain adalah tokoh sufi, seperti Henry Corbin dan Toshihiko Izsutsu mengenai Ibn Arabi… dan masih banyak lagi..Yang pasti semua tulisan mengenai aspek ini masuk dalam tipe kajian monografik yang panjang lebar yang di isyaratkan oleh Arberry sebagai kebutuhan utama dalam memahami tradisi sufi.
Kemajuan yang substansial dalam kajian ini dapat disebutkan beberapa buku, seperti Persia Religiosa oleh A. Bausani. Buku ini mengupas tokoh-tokoh sufi Iran, termasuk juga para penyair sufi terkenal.Buku ini juga mengupas hubungan antara sufi dengan Syi’ah Isna Asya’riah. Buku yang kedua Die Lehre vom Tawakkul in der Klassuschen Sufic, oleh Benedikt Reinert, yang menganalisa salah satu istinal teknis sufi yang amat fundamental. Yang ketiga buku yang mengupas hubungan antara mistik dalam tradisi Islam dengan agama yang berkembang di anak benua India, Hindu and Muslim Mysticism oleh R.C. Zaechner dan mm Mistica Musulmanae Mistica Indiana, oleh M.M. Moreno.
Kajian sufism sebagaimana disiplin ilmu-ilmu keislaman banyak menggantungkan hasil kerja filologi untuk mengedit dan mempublikasikan lebih banyak teks sufi yang masih belum banyak dijamah. Hasil kerja tersebut sangat diharapkan untuk memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai watak fenomena sufi, untuk dapat memahami perkembangannya dan dapat menempatkan posisinya dalam sejarah agama Islam. Barangkali karena persoalan inilah dibagian awal tulisan ini dikatakan, bahwa kajian sufi masih belum mapan.
Harus dicatat, bahwa sufism sebagai salah satu aspek pengalaman Islam memungkinkan untuk diinvestigasi dengan menggunakan metode-metode yang digunakan oleh pakar fenomenologi dan sejarawan agama. Sufi dan literaturnya tidak saja kaya dengan semacam adat dan pengetahuan legendaris yang membentuk dan barangkali menjelaskan motif-motif gerakan yang lebih penting, tetap juga berlimpah dengan berbagai variasi pratek ritual dan bentuk sosial. Diversitas dan keterlibatan emosional yang intern dalam sufism menarik untuk dibandingkan dengan fenomena mistik dalam tradisi lain, dan menarik untuk menjadi garapan pakar fenomenologi. Kajian sufism sebenarnya sangat menjanjikan, sebab sufis dapat dipergunakan sebagai Anknupfungspunkt [titiktolak] bagi pakar fenomenologi agama yang ingin memperluas kajiannya untuk memahami untuk materi agama Islam.

Studi tentang Shi’ism
Tradisi ilmiah Barat cenderung melihat Islam sebagai struktur monolitik, yang memiliki norma-norma yang sudah mapan bagi keyakinan dan pratek ibadah. Kenyataan ini membawa konsekwensi mengeluarka kelompok-kelompok lain yang di anggap tidak sejalan dengan norma tersebut, bahkan dituduh sebagai masyarakat heretik, sebaimana masyarakat yang keluar dari mayoritas. Kenyataan semacam ini pula yang menyebabkan kajian terhadap kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang kurang mendapat perhatian. Kalaupun dikaji, pada umumnya sebatas sebagai bagian dari fokus utamanya, yaitu aliran Sunni. Padahal, apabila kita mengambil kasus Syi’ah Isna Asy’riah umpamanya, mayoritas kelompok di Iran, Irak dan anak benua India, alur perkembangan, spirit dan watak aliran ini sangat jauh berbeda dengan kelompok ortodoks. Penghargaan terhadap kelompok ini sebatas pengakuan, bahwa kelompok tersebut berbeda dengan arus utama, tetapi perbedaan itu diminimalkan. Sangat jarang sekali diupayakan untuk mengkaji pandangan Syi’ah secara panjang lebar untuk memahami semangat dan pandangan keagamaannya. Padahal kelompok ini memiliki karakter yang sangat berbeda dengan mayoritas Sunni. Apabila Sunni memiliki fokus utama pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan, maka tema yang dikembangkan Syi’ah adalah penderitaan dan martir [syahid]. Kelompok Syi’ah merasa lebih dekat dengan realitas suci melalui para iman dan wakilnya.
Dalam kaitan ini para sarjana Eropa, Terutama Perancis, telah memberikan banyak perhatian, dibanding sarjana Amerika Utara, ke persoalan karekter unik dari Syi’ah. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan Henry Corbin. Namun demikian obyek kajian ini masih perlu mendapatkan perhatian lebih dan tanpa stigma ‘’bid’ah’’ atau menyimpang.
Tulisan mengenai kelompok Islam non-Sunni masih sangat menyedihkan. Barangkali karena wataknya yang radikal kelompok Ismailiyyah mendapatkan perhatin yang lumayan baik oleh individu dalam komunitasmereka sendiri ataupun diluar mereka.

Studi Tentang Agama Populer
Beribadah, perilaku saleh dan agama populer merupakan beberapa elemen dalam kajian Islam yang harus dianggap sebagai elemen yang diabaikan, namun merupakan kawasan prioritas. Memberikan penekanan  yang lebih terhadap sifat kesalehan islami dan kualitas pengalaman orang beriman sangat dibutuhkan untuk sejumlah persyaratan legal formal yang amat rumit, seperangkat aturan yang njelimet tanpa semangat, kehangatan dan kepuasan hati yang bersangkutan [orang yang beriman]. Kajian terhadap kehidupan kesalehan beragama merupakan salah satu wilayah yang sangat relaven bagi metode dan perhatian sejarawan agama untuk memahami Islam.
Banyak literatur dimasa lampau yang memberikan informasi mengenai apa yang disebut sebagai agama populer dikalangan masyarakat muslim. Umumnya informasi tersebut terdapat dalam buku-buku laporan mengenai hasil perjalanan dan tulisan-tulisan singkat lainnya. Meskipun tidak memiliki hubungan yang jelas dengan tema-tema yang besar dalamIslam klasik, bahkan mungkin bertentangan, namun sangat penting untuk memahami Islam sebagai keyakinan hidup.
Di antara tulisan yang mengenai agama  populer ini adalah The Religious Life and Attitude in Islam, Mc. Donald, dan Die Religiose Gedankenwell des Volkes in Heitigen Islam. Volksglaube in Bereich des Islams, Wiesbaden, memusatkan perhatiannya pada negara-negara yang berada dilembah Mediteran, namun fokus utama ditemukan dalam Arab. Jilid pertama membicarakan tentang haji dan ibadah yang terdapat dalam kawasan tersebut, jilid kedua berbicara tentang jimat, majig, dan sumpah. E. Dermenghem, Le Cultc des Saints dans I’Islam Maghribin dan penelitian H. Granvist mengenai kepercayaan dan ritual dalam kaitannya dengan kematian.
Kajian mengenai agama populer ini juga dilakukan oleh pakar antropologi yang dalam dekade terakhir memberikan perhatiannya pada Islam sebagaimana yang secara aktual dijalani dan dialami di berbagai negara Islam. Pendekatan ini sangat baik untuk mengcounter asumsi Islam monolitik. Penekatan ini menunjukkan perbedaan yang riil dan penting, perbedaan dalam kaitannya dengan watak dan makna Islam dalam manivestasinya di berbagai kawasan. Pendekatan ini memberikan penjelasan mengenai pola bagaimana tradisi Islam klasik beradaptasi dengan berbagai konteks budaya, juga memperlihatkan bagaimana makna aktual Islam bagi kaum awam yang juga memiliki kepercayaan yang sama. Kajian semacam ini banyak dilakukan oleh Clifford Geertz yang melakukan penelitian di Jawa dan Afrika Utara. The Religion of Java merupakan hasil penelitian tentang kehidupan agama di kota kecil di Jawa yang berbaur antara Islam klasik dengan non-Islami. Dalam Islam Observed, Geertz membandingkan etos atau semangat keyakinan Islam di Indonesia dengan Maroko. Kajian yang dilakukan ole Geertz ini merupakan salah satu pendekatan ilmu sosial yang dapat membantu dalam memahami Islam, dan bahkan dapat memberikan kontribusi yang substansial. Kajian etnografis dilakukan oleh Erest Gellner dalam Saints of Atlas, yang menggambarkan peran sosial keluarga suci Atlas diantara suku Berber.

Kajian Masa Depan; Sebuah Tawaran
Setelah menjelaskan kajian agama Islam secara panjang lebar, baik menyangkut pendekatan, wilayah dan perkembangannya, Charles mengakhiri tulisannya dengan sebuah tawaran fokus kajian yang harus diteliti dimasa mendatang, diantaranya; Kajian al-Qur’an; menyangkut berbagai persetujuan yang terkandung didalamnya, yang berisi pengajaran, ide-ide dan pendapat dunia tentang al-Qur’an. Sejarah teologi Islam; fokus pada periode awal dengan memperhatikan pada Mu’tazilah. Kajian sufi; titik beratnya terletak pada persiapan secara detail tentang aktifitas para individu, gerakan, naskah dan ajaran-ajaran mistik. Kajian tentang Syi’ah; difokuskan pada keunikan dan kekayaan kontribusi aliran ini dalam wilayah pengetahuan keagamaan. Kajian tentang agama populer; mengarah pada muslim dan kehidupan pemujaan dalam Islam. Akhirnya yang musti dilakukan adalah memperbaiki metodologi dalam lapangan Islam dan kesadaran untuk mendapatkan melalui munculnya berbagai perbaikan kajian tersebut di Eropa dan Amerika dalam hal ini disiplin kajian keilmuan agama. Tipe seperti ini sering menyebutkan sejarah agama atau Religion swissenchaft.
Merujuk apa yang ditawarkan Charles, maka dalam kajian tentang teologi kita bisa mepresentasikan model pemikiran Asghar Ali Enginer, dengan stressing pemikirannya tentang agama humanis,  kajian tentang al-Qur’an kepada model pemikirannya Arkoun dalam konsep besarnya tentang Kritik nalar Islam, kajian tentang hadits kepada model pemikiran Fazlur Rahman, yang  tercakup dalam gagasan besarnya tentang al-Qur’an dan tantangan modernitas, kajian tentang hukum Islam kita representasikan pada model pemikiran Abdullah Ahmad Annaim, dengan stressing tema dekonstruksi syari’ah-nya, kajian tentang tasawuf kita representasikan pada model pemikiran Hassan Hanafi, yang merupakan bagian gagasan besarnya tentang agama dan revolusi, kajian epistemologi pendidikan islam kita representasikan pada model pemikiran al-Jabiri, kajian tentang gender kita representasikan pada model pemikiran Fatimah Mernisi, tentang hadits misogini-nya, kajian tentang filsafat Islam kita representasikan pada model pemikiran Syed Hoossen Nasr, dengan gagasannya tentang kearifan perrenial Islam.


                [1]Ahmad Norma Permata, Metodologi Study Agama [Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2000], hal. 1
                [2] Charles J.Adams, ‘’Islamic Relegious Tradition’’ dalam Leonard Binder[edt.], The Study of The Middle East; Research and Scholarship ib The Humanities an The Social Sciences [New York; John Wiley dan Sons, 1976], hal. 31
                [3]Syamsul Hidayat,’’al-Qur’an dan Paradigma Studi Agama-agama’’ dalam Jurnal Studi Islam Profetika. No 1 Januari 1999[Surakarta; Program MSI UMS, 1999], Vol. 1, hal. 126
                [4]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam[Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1999], hal. 27
                [5]Charles J.Adams, Op.Cit, hal. 31
                [6]Ibid, hal.32
                [7]Ibid.
                [8]Ibid.
                [9]Dr.H.M.Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas[Yogyakarta; Pustaka Pelajar,1996], hal.15
                [10]Chrles J.Adams, Op.Cit, hal. 32
                [11]Ibid.
                [12]Ibid, hal. 34
                [13]Ibid, hal. 35
                [14] Ibid
                [15]Ibid, hal. 37
                [16]Ibid, hal. 37-38
                [17]Ibid, hal. 40
                [18]Ibid, hal. 45
                [19]Ibid, hal. 41
                [20]Ibid, hal. 41
                 [21]Lihat Nabilah Lubis, Naskah dan Metode Penelitian Filologi [Jakarta; Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab, 1996], hal. 14-15
                [22]Charles J.Adams. Op.Cit, hal. 43
                [23]Ibid, hal. 45
                [24]Ibid, hal. 46
                [25]Charles J.Adams, Ibid, hal. 49-50
                [26]Lihat Haidar Bagir,’’Fenomena Schimmel’’ Pengantar dalam Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi,terj. Rahmani Astuti[Bandung; Mizan,1996], hal. 11
                [27]Charles J.Adams, OP.Cit, hal. 54-58
                [28]Ibid, hal. 58-61
                [29]Ibid, hal. 68

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *
You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar